Membongkar Gurita Cikeas, di balik skandal Bank Century

Membongkar Gurita Cikeas,
di balik skandal Bank Century
“apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang
bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas‐
desus, rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu
dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY;
fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan.
…. sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana
diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal
sementara itu dapat kembali ke negara?”
Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang
Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009,
menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden
sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air,
setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit
S. Ryanto dan Chandra M. Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus
pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September,
dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.
Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang
begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus
Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora
yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam
menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya. Memang,
drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo
Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses
mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang
mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.
Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit
Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah oleh Mabes Polri dapat
ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank
Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong oleh Bibit
Samad Riyanto, yang waktu itu masih aktif sebagai Wakil Ketua Bidang
Investigasi KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang
meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI
pra‐Pemilu 2009.
Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua
orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni
Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan
Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang
menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998. Sebelum Bank Century
diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok
PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp
Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati
Murdaya sekitar Rp 321 milyar. Keduanya sama‐sama penyumbang
logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya
adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna
sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18
juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan
Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji,
tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: 48; Haque 2009; Inilah.com, 25
Febr. 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum
Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).
(CANTUMKAN)
SURAT REKOMENDASI BARESKRIM MABES POLRI,
KOMJEN (POL) SUSNO DUADJI, TERTANGGAL 7 DAN 17 APRIL 2009
BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS
Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas? Boedi
Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk
dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48). Ada juga yang
mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan
salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong
politik Partai SBY” (Haque 2009).
Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita
harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda
ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna
kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS,
Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5
trilyun. Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963
bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya,
Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga
Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang
anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta
adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947
(PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).
Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera
menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael
Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga
yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara. Misalnya,
membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan
saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar
kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa
Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1
April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101).
Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang
tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang
kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas
milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan
sedang bermasalah dengan Bank Danamon. Menurut sumber‐sumber
penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup
Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di
Jakarta.
Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media
cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, harian Jurnal Bogor,
majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Eksplo. Boleh jadi, dwi‐
mingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan
penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai‐maskapai migas dan
alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.
Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan
indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan
Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM.
Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang
tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor
Cholis, “PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober
2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi,
September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).
Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto
Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N. Syamsuddin
Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama
bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama
SBY.
Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media
Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting
Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik
sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis. Dalam Surat
Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang
dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI
Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap
pemilik dan penanggungjawab.
Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat
dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya
Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai
Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah
Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Eksplo.
Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan
Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik
Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi
presidennya yang pertama. Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat
politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga
mengalir ke Blora Center. Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center
menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja
anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan
Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat,
mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni
2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009).
Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup
Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri dari
jabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin
Umum, N. Syamsuddin Haesy. Namun nama Ananta Setiawan tetap
tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP
PT Media Nusa Perdana. Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto
terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan
media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo
sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini,
dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).
Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke
kelompok Jurnas? Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang
diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5
Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3
milyar. Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan
harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya
kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama
(2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp
20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa
Perdana mulai menarik langganan dan iklan. Tahun ketiga (2008), sekitar
Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar.
Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp
90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan
punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan
sendiri. Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji
wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama
wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat
gaji wartawan baru Jawa Pos Group.
Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya
menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpul‐
simpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat
Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank
Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009
dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga
sebesar Rp 5,7 trilyun.
Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus
PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa
Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik
Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular
dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐
dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS.
PEMANFAATAN PSO LKBN ANTARA UNTUK BRAVO MEDIA
CENTER:
Kemudian, sudah ada preseden bahwa dana publik dialihkan untuk
biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya. Hal ini timbul, di
mana ada perangkapan jabatan antara kader Partai Demokrat, khususnya
yang duduk di dalam berbagai tim sukses, dengan jabatan komisaris atau
fungsionaris badan‐badan usaha milik negara (BUMN) tertentu. Misalnya
dalam kasus Rully Ch. Iswahyudi yang selain menjadi Direktur Komersial
& IT Perum LKBN Antara, juga ikut mengelola Bravo Media Center.
Mantan direktur Blora Center dalam Pemilu 2004 dan mantan Wakil
Pemimpin Umum Harian Jurnal Nasional itu masih tercantum namanya
sebagai Staf Khusus Bappilu Partai Demokrat, menurut situs resmi Partai
Demokrat, 10 Juli 2009. Juga, sampai dengan 1 April lalu, namanya masih
tercantum sebagai Direktur Media Center Barindo (Barisan Indonesia)
(Gatra, 1 April 2009: 17). Padahal Barindo, yang ditokohi oleh Akbar
Tanjung, adalah salah satu jejaring militan pendukung SBY (lihat Lampiran
I).
Lalu, adalah kontribusi finansial Rully bagi kampanye Capres dan
Cawapres SBY‐Boediono? Ada. Bersama CEO LKBN Antara, Dr. Akhmad
Muchlis Jusuf, separuh dari dana PSO (Public Service Obligation) LKBN
Antara yang berjumlah Rp. 40,6 milyar ke Bravo Media Center, salah satu
tim kampanye SBY‐Boediono.
PSO untuk LKBN Antara itu merupakan bagian dari alokasi PSO
untuk empat BUMN – PELNI, PT Kereta Api Indonesia (KAI), LKBN
Antara, dan PT Pos – sebesar Rp 1,7 trilyun yang disetujui oleh DPR‐RI,
akhir 2008. Pengalihan separuh dana PSO LKBN Antara untuk Bravo
Media Center ini menimbulkan ketegangan di dalam kantor berita itu.
Barangkali, karena rasa tanggungjawab yang besar, serta susahnya mencari
pekerjaan, tidak ada karyawan LKBN Antara yang keluar, namun
informasi ini sudah sempat merembes ke luar.
Nah, kalau pengalihan sebagian uang rakyat untuk ‘dana siluman’
kampanye SBY‐Boediono – karena tidak dilaporkan ke KPU ‐‐, bagaimana
dengan uang rakyat yang dititipkan pada Badan‐Badan Usaha Milik
Negara yang lain, di mana pejabatnya juga menjadi anggota tim sukses
SBY‐Boediono? Baik yang terdaftar, maupun yang tidak terdaftar?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT KAI, yang
komisarisnya, Yahya Ombara, juga menjadi anggota tim sukses SBY‐
Boediono, sebelum ditarik, 10 Juni lalu?
= Bagaimana dengan dana PSO yang dialokasikan untuk PT Pos, yang
komisarisnya, Andi Arief, menjadi anggota Jaringan Nusantara?
= Bagaimana dengan transparansi dana BUMN lain, yang komisarisnya
juga anggota Jaringan Nusantara, seperti Aam Sapulete (PTPN VII,
Lampung), Herry Sebayang (PTPN III, Sumut), dan Syahganda
Nainggolan (PT PELINDO, yang mengelola pelabuhan Tanjung Priok,
termasuk pelabuhan peti kemasnya)?
Pengalihan dana melalui Bank Century, LKBN Antara, atau
korporasi‐korporasi lain, terdorong oleh gencarnya usaha SBY serta para
pendukungnya, untuk memastikan pemilihannya kembali untuk masa
jabatan kepresidenan yang kedua dan terakhir, sehingga terbukti jumlah
pemilih Partai Demokrat telah melonjak hampir tiga kali lipat dari 7 %
dalam Pemilu legislatif tahun 2004 menjadi sekitar 20% dalam Pemilu
legislatif 2009.
YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE SBY:
Selain melalui lebih dari selusin tim kampanye (lihat Lampiran 1),
penggalangan dukungan politis dan ekonomis bagi SBY dimotori oleh
yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan ke Ny. Ani Yudhoyono.
Selanjutnya, yayasan‐yayasan yang berfungsi sebagai bagian dari strategi
public relationship keluarga Yudhoyono, ternyata tidak luput dari usaha
penggalangan dana bagi perusahaan‐perusahaan lama dan baru, yang
kemungkinan besar juga menyumbangkan sebagian keuntungannya untuk
biaya kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya.
Antara tahun 2005‐2006, telah didirikan dua yayasan yang berafiliasi
ke SBY, yakni Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam yang didirikan
tahun 2005 dan berkantor di Tebet, Jakarta Selatan , tapi selalu
menyelenggarakan kegiatan‐kegiatan dzikirnya di Masjid Baiturrahim di
Istana Negara; serta Yayasan Kepedulian Sosial Puri Cikeas, disingkat
Yayasan Puri Cikeas, yang didirikan tanggal 11 Maret 2006 di kompleks
perumahan Cikeas Indah (lihat Lampiran 2: Susunan Pengurus Yayasan
Puri Cikeas).
Kedua yayasan itu melibatkan sejumlah menteri (ada yang sekarang
mantan menteri, seperti ), sejumlah perwira tinggi, sejumlah pengusaha,
serta anggota keluarga besar SBY. Edhi Baskoro Yudhoyono, putra bungsu
SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, sebagai salah seorang Sekretaris Yayasan
Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan Hartanto Edhie Wibowo, adik bungsu
Ny. Ani Yudhoyono (lihat Box II: Dinasti Sarwo Edhie Wibowo) sebagai
salah seorang bendahara.
(CANTUMKAN)
BOX II: DINASTI SARWO EDHIE WIBOWO
Menjelang Pemilu 2009, yayasan penopang kekuasaan SBY
bertambah satu: Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian (KdK), yang
dipimpin oleh Arwin Rasyid. Empat orang anggota Dewan Pembinanya
sudah masuk ke dalam Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) Jilid II, yakni
Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, Sutanto, dan MS Hidayat (lihat
Lampiran 3a: Visi, Misi, dan Struktur Pengurus YKDK).
Yayasan ini dikelola oleh orang‐orang yang punya banyak
pengalaman di bidang perbankan. Ketua Umumnya, Arwin Rasyid,
Presiden Direktur CIMB Bank Niaga, sedangkan Bendahara Umumnya,
Dessy Natalegawa. Dessy adalah adik kandung Menlu Marty Natalegawa
yang sudah diproyeksikan akan diangkat menjadi Menlu dalam KIB II
(Gatra, 28 Okt. 2009: 16). Mereka tidak perlu lagi bingung memikirkan
penggalangan dana (fund raising ) bagi yayasan ini, yang telah mendapat
kucuran dana sebesar US$ 1 juta dari Djoko Soegiarto Tjandra, pemilik
Bank Bali dan buron kelas kakap BLBI (Vivanews, 2 Okt. 2009; Mimbar
Politik, 7‐14 Okt. 2009: 10‐11).
Yayasan Puri Cikeas, Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam, dan
Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian punya beberapa ciri yang sama.
Ketiga yayasan itu tidak dipimpin oleh SBY sendiri, tapi oleh orang‐orang
dari inner circle nya. Pola operasinya sama: memadu kedermawanan
dengan mobilisasi dukungan politik dan ekonomi. Sejumlah perusahaan
pendukung ketiga yayasan itu bukannya tidak mengharapkan
keuntungan. Padahal, jangkauan kedermawanan ketiga yayasan itu
membutuhkan dana yang sangat besar. Lagi pula, hasil auditing ketiga
yayasan itu oleh auditor publik yang betul‐betul independen, belum
pernah dilaporkan ke parlemen dan ke media massa.
Soalnya, ketiga yayasan itu melibatkan sejumlah Menteri dan staf
harian Presiden, serta menguasai dana milyaran rupiah. Yayasan Majelis
Dzikir SBY Nurussalam tadinya melibatkan tiga orang Menteri (Hatta
Rajasa, Sudi Silalahi, dan M. Maftuh Basyuni, yang tadinya Menteri
Agama) sebagai Pembina, serta Brigjen Kurdi Mustofa, Sekretaris Pribadi
Presiden SBY, sebagai Pengawas. Kegiatan yayasan ini telah menelan dana
yang sebagian mungkin berasal dari anggaran negara. Misalnya, dana
untuk kegiatan zikir dan doa di Masjid Baiturrahim di Kompleks Istana
Negara di akhir 2007 dan 2008, yang diikuti antara 3000 dan 4000 jemaah,
yang selesai berdoa, diundang makan malam di Istana Negara (Kompas, 31
Des. 2007; Tempo, 13 Jan. 2008: 34).
Biaya makan malam ribuan jemaah zikir itu mungkin dapat diambil
dari anggaran rutin kepresidenan yang telah disetujui oleh DPR‐RI. Tapi
bagaimana dengan biaya ibadah umroh bagi lima rombongan ulama a 50
orang yang disponsori oleh yayasan ini, di mana setiap orang menelan
biaya seribu real (Antara News, 16 Sept. 2008; Masayok 2008; website majelis
dzikir)?
Boleh jadi, selain dari uang rakyat, melalui anggaran kepresidenan,
pembiayaan yayasan ini dibantu oleh kedua orang bendaharanya. Selain
Hartanto, ada bendahara lain, yakni Aziz Mochdar, mitra bisnis Bambang
Trihatmodjo dan adik Muchsin Mochdar, ipar mantan Presiden B.J.
Habibie. Selain itu, Aziz juga mitra Gunawan Yusuf, pemilik Sugar Group
Company (SGC) yang sedang berkonflik dengan Anthony Salim tentang
kepemilikan sejumlah perkebunan tebu di Lampung (Aditjondro 2003: 94;
Tempo, 13 Mei 2008; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29; Gatra, 1 April 2009: 68‐
69).
Dibandingkan dengan Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam,
Yayasan Puri Cikeas melibatkan lebih banyak pejabat, purnawirawan
perwira tinggi, dan pengusaha. Ketua Dewan Pembinanya adalah Jero
Wacik, Menteri Pariwisata dan Kebudayaan, pemilik tiga perusahaan yang
bergerak di bidang hotel, biro perjalanan, bidang interior, dan disain
tekstil, yakni PT Griya Batu Bersinar, PT Pesona Boga Suara, dan PT Putri
Ayu (Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49).
Selain Menteri tadi, sejumlah mantan perwira tinggi terlibat di
Yayasan Puri Cikeas. Ketua dan anggota Dewan Penasehat yayasan ini
adalah mantan KSAD Jenderal (Purn.) Subagyo H.S., Komjen (Pol) Didi
Widayadi, dan Mayjen TNI Bambang Sutedjo. Sedangkan Ketua Umum
dan Wakil Ketua Umum Pengurus adalah Marsekal Madya (Purn.) Suratto
Siswodihardjo, mantan Ketua INKOPAU, dan mantan Wakil Ketua MPR‐
RI Letjen (Purn.) Agus Widjojo. Subagyo HS dan Agus Widjojo tetangga
SBY di kompleks Cikeas Indah itu (Detiknews, 24 Sept. 2004).
Para pebisnis yang namanya tercantum di struktur organisasi
yayasan ini adalah Jero Wacik, yang sudah disebut di depan; Sofyan Basir,
Dirut Bank Rakyat Indonesia (BRI) dan mantan Dirut Bank Bukopin;
Anton Sukartono, putra Suratto Siswodiharjo yang juga Wakil Bendahara
DPP Partai Demokrat dan CEO PT Bakrie Building Industries, anak
perusahaan Bakrie & Brothers; Glen Glenardi, Direktur Utama Bukopin;
Sukamdani Sahid Gitosarjono, pemimpin dan pemilik Sahid Group, serta
anaknya, Hariadi Budi Sukamdani; Tanri Abeng dan anaknya, Emil
Abeng, Presiden PT Walinusa Energi yang bergerak di bidang
pertambangan batubara serta pembangunan pembangkit‐pembangkit
tenaga listrik dan pipa‐pipa gas alam (Aditjondro 2003: 24‐5; Tempo, 13 Mei
2008, 2 Febr. 2009; Antara, 12 April 2006; Lampung Post, 1 Juni 2006;
Sriwijaya Post, 8 Sept. 2009; Warta Ekonomi, 16‐29 Nov. 2009: 49; Bank
Bukopin 2002; website Yayasan Puri Cikeas; website Partai Demokrat).
Jangan lupa, Ketua Umum yayasan ini, Suratto Siswodihardjo, juga
seorang pebisnis, setelah berkarier di bidang kemiliteran dan politik. Lahir
di Solo tahun 1946, lulusan AKABRI Udara di Yogyakarta (1969) dan
Sarjana Sosial Universitas Jakarta (1992) menjabat sebagai Kasi Sospol
Mabes AU (1990‐1992), anggota DPRD‐DKI dari Fraksi ABRI dan Ketua
INKOPAU (1998‐2001). Tahun 1998, Suratto menjadi komisaris PT Sweet
Indo Lampung dan PT Indo Lampung Perkasa (1998‐2000) yang waktu itu
masih milik Anthony Salim; anggota Dewan Audit Bank Bukopin ( 2006‐
2007) dan komisaris Bank Bukopin (2001‐2002); komisaris PT Prosys
Engineering International (2005); dan komisaris PT Angkasa Pura II (2006‐
2007) yang mengelola bandara‐bandara di Jakarta, Medan, Palembang,
Banda Aceh, dan Pontianak (Angkasa Pura II 2007: 3, 15; Bank Bukopin
2002, 2006; Mahkamah, 15 April 2009: 28‐29).
Dengan modal yang telah terkumpul dari berbagai usahanya, Suratto
membeli tanah seluas 25 hektar di Desa Cikeas, Kecamatan Gunung Putri,
Kabupaten Bogor, waktu masih berharga Rp. 5000 per meter persegi tahun
1995. Tanah itu kemudian dikapling‐kapling, masing‐masing seluas seribu
meter persegi, dan tahun berikutnya ditawarkan kepada sejumlah perwira
tinggi di jajaran Hankam seharga Rp 35 ribu per meter persegi. Sejumlah
jenderal membelinya, termasuk SBY, yang langsung membeli empat
kapling, yang sekarang sudah bernilai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per meter
persegi. Suratto membangun rumahnya bersamaan dan berseberangan
dengan SBY tahun 1997. Jadi boleh dikata, Suratto adalah seorang
pengembang yang berhasil, yang berkepentingan untuk mempertahankan
SBY menjadi Presiden untuk periode keduanya, supaya harga tanah di
kompleks Cikeas Indah semakin mahal (Detiknews, 24 Sept. 2004; Tempo, 21
Juni 2009: 28, 21 Juni 2009: 28; Harian Komentar, 27 Ag. 2007).
Boleh jadi, mereka ikut menyumbang kegiatan Yayasan Puri Cikeas,
yang bergerak dalam penyelenggaraan Sekolah Alam Cikeas,
penanggulangan bencana alam di DIY dan Jawa Tengah, warung murah,
dan berbagai bentuk bantuan sosial, terutama buat penduduk pedesaan
sekitar Cikeas. Sedangkan untuk bantuan pengobatan gratis, ada klinik
keliling, gagasan Ny. Ani Yudhoyono (Harian Komentar, 27 Ag. 2007; Radar
Bogor, 16 Ag. 2009).
Sejauh tidak menggunakan uang rakyat, dan murni dibiayai oleh
pengusaha swasta, tidak ada masalah. Namun karena Sofyan Basir,
Direktur Utama Bank Rakyat Indonesia (BRI) adalah Wakil Ketua Dewan
Pembina Yayasan Puri Cikeas, keuangan yayasan ini perlu diaudit dan
dilaporkan ke parlemen, mengingat BRI merupakan BUMN.
Secara khusus, para nasabah Bank Bukopin juga berkepentingan
mengetahui laporan keuangan yayasan ini, sebab dirut Bank Bukopin,
Glen Glenardi, adalah ketua Badan Pengawas yayasan ini. Padahal ketua
umum yayasan ini, Suratto Siswodiharjo, pernah menjadi Komisaris (2001‐
2002), kemudian anggota Tim Audit Bank Bukopin (2006‐2007).
Walaupun Bukopin itu sendiri sudah badan usaha swasta, pemegang
sahamnya termasuk koperasi‐koperasi pegawai negeri sipil (PNS), polisi,
dan tentara. Suratto Siswodiharjo sendiri, masuk ke lingkungan Bukopin,
karena ia pernah menjabat sebagai Ketua Induk Koperasi Angkatan Udara
(INKOPAU). Dengan demikian dapat dikatakan, Bukopin mengelola
sejumlah uang rakyat yang telah dibayarkan sebagai gaji pegawai negeri
sipil, polisi, dan tentara.
KAITAN YAYASAN‐YAYASAN TERSEBUT DI ATAS DENGAN
BISNIS KELUARGA CIKEAS:
Namun yang paling penting, keuangan ketiga yayasan itu perlu
diaudit dan dilaporkan ke parlemen dan media, karena dua orang anggota
keluarga besar SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yakni Hartanto Edhi
Wibowo, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono dan Edhi Baskoro Yudhoyono,
putra bungsu SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, yang sudah terjun dalam
bisnis keluarga Cikeas, memegang jabatan‐jabatan strategis di Yayasan
Majelis Dzikir SBY Nurussalam, masing‐masing sebagai bendahara dan
sekretaris.
Menariknya, Hartanto Edhie Wibowo, punya ikatan bisnis dengan
adik dari M. Hatta Rajasa, Pembina Yayasan Majelis Dzikir SBY
Nurussalam, melalui PT Power Telecom (Powertel). Hartanto adalah
Komisaris Utama perusahaan itu, sementara adik Hatta Rajasa, Achmad
Hafisz Tohir, salah seorang direkturnya, pakar telematika Roy Suryo
Notodiprojo komisaris independen, sedangkan Dicky Tjokrosaputro, salah
seorang pewaris Batik Keris, direktur utama PT Powertel. Waktu Hatta
Rajasa jadi Menteri Perhubungan, Powertel mendapat proyek telekom
serat optik dari PT KAI Tempo Interaktif, 27 April 2009; Warta Ekonomi, 15‐28
Juni 2009: 56; Indonesia Monitor, 7 & 14 April 2009; www.selular.co.id, 2 Juli
2008; www.jakartapress.com, 4 Agustus 2008).
(CANTUMKAN)
FOTO DICKY TJOKROSAPUTRO,
DIREKTUR UTAMA PT POWERTEL
PowerTel yang berkantor pusat di Jakarta, dengan enam kantor
cabang di Pulau Jawa, mendapat berbagai proyek di lingkungan PT Kereta
Api Indonesia (KAI) sewaktu Hatta Rajasa masih menjabat sebagai Menteri
Perhubungan, yakni pembangunan double track jurusan Tanah Abang‐
Serpong bernilai Rp 333 milyar; pengadaan 16 unit kereta api listrik (KRL)
bekas dari Jepang bernilai Rp 44,5 milyar; serta pengadaan jaringan serat
optik di kawasan Jakarta, Bandung, dan Surabaya, dengan memanfaatkan
jaringan rel PT KAI (idem).
Ironisnya, berbagai proyek itu merupakan rekomendasi Proyek
Efisiensi Perkeretaapian (PEP) PT KAI, yang dibiayai dengan hutang US$
85 juta dari Bank Dunia. Rekomendasi itu ditindaklanjuti dengan hutang
41 milyar Yen dari pemerintah Jepang melalui JBIC (Japan Bank for
International Cooperation) untuk pembangunan rel double track dan
pembelian gerbong‐gerbong bekas dari Jepang, serta hutang US$ 194,88
juta dari pemerintah RRT untuk pembangunan rel double track antara
Yogyakarta dan Kutoarjo (Nikmah & Wijiyati 2008: 1, 13‐4).
Dengan kata lain, perusahaan kongsi keluarga Tjokrosaputro, Hatta
Rajasa, dan Hartanto Edhie Wibowo mengambil keuntungan dari
akumulasi hutang Republik Indonesia kepada Bank Dunia serta
pemerintah Jepang dan RRT, sewaktu Hatta Rajasa menjabat sebagai
Menteri Perhubungan. Kalau begitu, apakah SBY – siapapun wakil
presidennya – dapat menyangkal bahwa ia menganut pola ekonomi neo‐
liberalis, yang mendahulukan kepentingan modal besar ketimbang
kepentingan rakyat?
Pencatatan saham PowerTel dilakukan 18 September 2008, dengan
PT BNI Securities sebagai penjamin. Timbul pertanyaan: apakah faktor
perkerabatan antara pelaku‐pelaku bisnis itu dengan keluarga Cikeas, ikut
mempermulus hubungan antara PowerTel dengan BNI Securities?
Soalnya, Gatot Mudiantoro Suwondo, yang menjadi Dirut BNI sejak 6
Februari 2008, setelah sebelumnya menjadi direktur bank syariah Bank
Danamon, masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono, dari fihak isterinya (McBeth
2007; Tribun Batam, 7 Febr. 2008; www.liputan6.com/ekbis/?id=15450, 6 Febr.
2006).
Ternyata, ada aspek lain di balik perkongsian Dicky Tjokrosaputro
dengan keluarga SBY dan Hatta Rajasa, yakni mencari perlindungan
terhadap tekanan Bank Mandiri. Soalnya, melalui PT Hanson International
Tbk yang bergerak di bidang pertambangan batubara, tiga bersaudara
Benny, Teddy, dan Dicky Tjokrosaputro, masih berhutang Rp 152,5 milyar
kepada Bank Mandiri, yang hanya bagian kecil dari hutang kelompok PT
Suba Indah Tbk sebesar Rp. 1,28 trilyun kepada bank itu. Kata Abdul
Rachman, Direktur Special Asset Management Bank Mandiri, meskipun
salah satu debitur Suba Indah ada yang terkait dengan keluarga Cikeas,
Bank Mandiri tidak akan mundur dalam menagih utang. “Suba Indah
harus dikejar lagi. Utangnya masih besar, masih banyak. Ya tentu kami
masih tagih terus. Kami akan kejar dengan cara apapun”, ujar Abdul
Rachman (Warta Ekonomi, 2‐15 Nov. 2009: 69‐70; www.jakartapress.com, 4
Agustus 2008).
Kembali ke PT Powertel, boleh jadi, tidak ada hubungan bisnis
khusus antara Gatot Mudiantoro Suwondo dengan Hartanto Edhie
Wibowo. Sementara itu, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono itu juga
dipercayai memangku berbagai jabatan penting dalam Partai Demokrat,
sebagai Ketua Departemen BUMN.
Sedangkan putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono yang akrab
dipanggil “Ibas”, dipercaya oleh ayah dan pamannya, Hadi Utomo, Ketua
Umum DPP Partai Demokrat, menjadi Ketua Departemen Kaderisasi DPP
Partai Demokrat. Ibas juga ikut Center for Food, Energy, and Water Studies
(CFEWS), lembaga, yang digagas Heru Lelono, staf khusus Presiden SBY,
yang pernah bikin heboh dengan “Enerji Biru” dan padi Super Toy (Tempo
Interaktif, 3 Nov. 2008).
Ibas juga sudah terjun ke dunia bisnis, khususnya ke produksi kue
kering, dengan menjadi Asisten Direksi PT Gala Pangan, menurut situs
kpu.go.id. Untuk mengetahui riwayat bagaimana ia mulai terjun ke bisnis
itu, bacalah Box I berikut:
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
BOX I: KISAH IBAS DAN BISNIS KUE KERINGNYA
EDHIE Baskoro Yudhoyono baru selesai menempuh pendidikan diplomanya di Curtin
University of Technology, Perth, Western, Australia, 26 Februari 2005, ketika keluarga Cikeas
menggelar rapat keluarga untuk membahas masa depan putra bungsu SBY itu. Materi
pembicaan seputar keinginan Ibas ‐‐ demikian sapaan lajang kelahiran Bandung, 24 November
1980 itu ‐‐ untuk menerapkan dua gelar diploma yang diraihnya selama tujuh tahun, Bachelor of
Commerce Finance dan Electronic Commerce, ke dunia kerja.
Namun, pembicaraan yang berlangsung serius tapi santai itu menemui jalan buntu. Posisi SBY
sebagai presiden membuat mereka kesulitan mencari kata temu untuk menentukan bisnis apa
yang cocok untuk Ibas. SBY dan anak‐istrinya tentu tidakbisa sembarangan melakukan bisnis.
“SBY sangat memahami hal itu,” ujar sumber di lingkungan keluarga Cikeas kepada Indonesia
Monitor, pekan lalu.
Alhasil, obrolan keluarga yang diselingi hidangan singkong goreng, jajanan pasar, dan teh
manis itu pun tidak menghasilkan putusan apapun. Sebagai kepala keluarga, SBY berusaha
membesarkan hati putra kesayangannya itu. “Nggak usah buru‐buru. Insya Allah, nanti pasti
akan ada jalan,” ujar SBY, seperti diungkapkan sumber.
Hingga suatu hari, masih menurut sumber, kegalauan keluarga Cikeas itu sampai ke telinga
seorang konglomerat pemilik usaha food manufacture, salah satu produknya adalah kopi bubuk
kemasan merek terkenal. Selama ini, pengusaha keturunan itu sudah kenal dekat dengan
keluarga Cikeas. “Dia menawarkan diri untuk mendidik Ibas berbisnis,” ungkapnya. Ibas dan
‘suhu bisnisnya’ sepakat memproduksi biskuit dengan merek dagang Bisco di bawah bendera
PT Gala Pangan. Setelah itu, mereka mencari lokasi pabrik. Yang dipilih sebagai basis usahanya
adalah kawasan industri Jababeka 2, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, sekitar 35 km arah timur
Jakarta, tepatnya di Jalan Industri IV Blok PP‐3.
Menurut sumber, lokasi PT Gala Pangan berada di bagian belakang kawasan industri Jababeka.
Jalanan masuk ke lokasi dulunya rusak parah. “Namun, setelah tahu di situ dibangun pabrik
milik Ibas, pihak pengelola Jababeka langsung meng‐hotmix jalan menuju kawasan tersebut,”
tuturnya. Tak hanya aspal hotmix. Sesuai kebutuhan, pabrik dengan omzet 1‐2,5 juta dolar AS
itu membutuhkan gas LPG dalam jumlah banyak untuk mengaktifkan pengovenan. Saat itu,
pipa gas LPG belum masuk kawasan itu. “Tak selang lama, pipa gas dibangun masuk ke
kawasan tersebut,” ujarnya.
Kini, PT Gala Pangan sudah berproduksi. Dengan memperkerjakan karyawan sebanyak 150
orang, biskuit produk Gala Pangan dilempar ke pasar ekspor, meliputi pasar‐pasar utama di
Amerika Utara, Amerika Selatan, Eropa Barat, Eropa Timur, Asia Timur, Asia Tenggara, Afrika,
dan Oceania. Ketika Indonesia Monitor berkunjung ke pabrik tersebut, Jumat (12/6) pagi, suasana
masih terlihat sepi. Lokasi PT Gala Pangan cukup mewah dan strategis. Dibanding pabrik‐
pabrik lain di kawasan tersebut, Gala Pangan tampak istimewa.
Pagarnya bagus, halamannya luas, dan bangunan gedungnya terlihat rapi. Terletak di sebuah
pertigaan Jalan Industri Selatan IV dan Jalan Industri Selatan V, pabrik Gala Pangan terbagi
dalam tiga bagian utama, yakni di bagian depan untuk kantor, bagian sisi kiri dan kanan untuk
produksi dan gudang. Halaman parker cukup luas. Namun, yang paling istimewa adalah saat
pabrik tersebut akan dibangun. “Peletakan batu pertama oleh Pak SBY,” ujar seorang sekuriti
PT Gala Pangan kepada Indonesia Monitor. Dia menuturkan, pabrik kue tersebut memang milik
Ibas. Pada awal‐awal produksi, Ibas sering datang ke pabrik tersebut.
Tapi, menurut dia, akhir‐akhir ini Ibas jarang berkunjung. “Pak Ibas sudah lama tidak ke sini.
Sejak maju sebagai caleg, dia jarang ke sini, mungkin sibuk,” ujarnya. Dalam ingatannya, Ibas
terakhir datang ke pabriknya sekitar lebaran haji tahun lalu. “Itu pun hanya sebentar,”
imbuhnya. Menurut sekuriti yang namanya dirahasiakan, ia tidak tahu mengapa Ibas jarang
berkunjung ke pabrik miliknya. “Sepengetahuan saya, Pak Ibas masih menjadi komisaris di
sini. Sebab dulu sebelum maju jadi caleg, dia sering datang ke sini, sekarang saja yang agak
jarang,” lanjutnya.
Keterlibatan Ibas dalam bisnis biskuit secara implisit dibenarkah oleh Staf Khusus Ibu Negara
Ani Yudhoyono, Nurhayati Ali Assegaf. Awalnya, Wasekjen Partai Demokrat itu tidak mau
mengaku soal bisnis Ibas. “Saya nggak tahu, jujur saya nggak tahu,” ujar Nurhayati kepada
Indonesia Monitor, Kamis (11/6).
Setelah didesak, akhirnya ia mengakui, meski tidak yakin. “Jujur saya nggak tahu kalau Mas
Ibas punya pabrik itu. Saya memang pernah dengar Mas Ibas, kalau nggak salah, berbinis kue
kering. Itu kalau nggak salah ya. Tapi, pastinya saya nggak tahu bisnis apa. Yang saya tahu,
Mas Ibas di politik,” paparnya. Namun, kalau pun benar berbisnis, menurut Nurhayati, tidak
ada salahnya, karena bisnis yang digeluti adalah di sektor swasta dan tidak terlibat kerjasama
dengan perusahaan BUMN maupun BUMD. “Apa salahnya anak presiden berbisnis,”
gugatnya.
Argumen Nurhayati didukung oleh Sekjen DPP Partai Demokrat Marzuki Alie. Menurutnya,
yang dimaksud larangan berbisnis, seperti yang pernah dilontarkan SBY, adalah berbisnis
dengan mengambil dana APBN. “Itu konkretnya. Kalau ada anak pejabat berbisnis, punya
pabrik, punya industri yang tidak ada kaitannya dengan pemerintah, tidak ada kaitannya
dengan APBN, ya boleh‐boleh saja kan,” ujar Marzuki Alie kepada Indonesia Monitor, Selasa
(9/6).
sumber: Sri Widodo, Moh Anshari
http://www.indonesia‐monitor.com/main/index.php?option=com_content&task=view&id=
2473&Itemid=33
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
YAYASAN‐YAYASAN YANG BERAFILIASI KE NY. ANI
YUDHOYONO:
Bukan hanya SBY, melainkan isterinya, Ny. Ani Yudhoyono, yang
aktif membina beberapa yayasan. Yayasan‐yayasan ini diketuai oleh
beberapa orang isteri Menteri dan pejabat kenegaraan yang lain, yakni
Yayasan Mutu Manikam Nusantara, yang diketuai Ny. Herawati
Wirayuda (isteri Menlu waktu itu); Yayasan Batik Indonesia, yang diketuai
oleh Yultin Ginanjar Kartasasmita (isteri Ketua DPD Ginanjar
Kartasasmita), dan Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai oleh Ny.
Triesna Wacik, isteri Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata,
merangkap Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.
Di antara ketiga yayasan itu yang paling kontroversial adalah
Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Bukan karena diketuai oleh isteri
Menlu waktu itu, tapi karena jabatan Bendaharanya dipegang oleh
Artalyta Suryani, yang lebih akrab dengan panggilan “Ayin”. Kedekatan
Ayin – yang tertangkap tangan menyogok jaksa Urip Tri Gunawan ‐‐
dengan Ani, mengurangi ketegasan KPK dalam membongkar seluruh
jejaring korupsi di belakang sang ‘markus’ (makelar kasus), khususnya
Syamsul Nursalim, boss Gajah Tunggal, yang terlibat dalam skandal BLBI
yang masih menyisakan kerugian Rp 4,2 trilyun bagi Negara. Ironisnya,
Ny. Ani Yudhoyono ‐lah yang meresmikan Alun‐Alun Indonesia milik
Syamsul Nursalim, tanggal 29 Oktober 2007 (lihat Lampiran 4: Kemilau
Persengkongkolan di Mutu Manikam).
Yayasan kedua yang ikut didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah
Yayasan Batik Indonesia yang diketuai oleh Ny. Yultin Ginanjar
Kartasasmita. Dalam berbagai pameran di dalam dan luar negeri yang
(ikut) diselenggarakan oleh yayasan ini, telah menonjol produk
perusahaan baru bermerek Allure. Perusahaan baru itu segera
mengundang perhatian karena dua hal. Pertama, lebih dari selusin gerai
perusahaan itu telah dibuka di Indonesia, Singapura dan Malaysia,
sementara beberapa gerai sedang dirintis di London dan Moskow. Kedua,
batik Allure telah mengangkat menantu SBY yang pernah dinobatkan
menjadi duta batik Indonesia (Annisa Pohan) dan anaknya (Aira
Yudhoyono) sebagai ikon perusahaan itu.
FOTO‐FOTO AIRA YUDHOYONO SEBAGAI IKON ALLURE KIDS &
DALAM GENDONGAN IBUNYA, ANNISA POHAN
(CANTUMKAN)
Adanya potensi konflik kepentingan antara Ny. Ani Yudhoyono
sebagai pembina yayasan itu, dan perusahaan batik baru yang telah
mengorbitkan anak dan cucunya sebagai ikon, belum banyak disorot
orang. Termasuk ketika koleksi batik Ny. Ani Yudhoyono dan Ann
Durham, ibunda Presiden AS, Barack Husein Obama di Alun‐Alun
Indonesia di Grand Indonesia Shopping Town, 17 November yang lalu.
Publik tampaknya juga tidak tahu, bahwa gedung itu milik Gajah Tunggal,
salah satu konglomerat yang belum membereskan hutangnya pada
Negara, dalam kerangka BLBI (lihat Lampiran 5: Allure meluncur di Alur
Yayasan Batik Indonesia).
FOTO‐FOTO ARTHALYTA DAN ANI YUDHOYONO,
ANI YUDHOYONO MERESMIKAN ALUN‐ALUN INDONESIA
& SBY DAN ISTERINYA MENGHADIRI PERNIKAHAN ANAK
SYAMSUL NURSALIM
Yayasan ketiga yang didukung oleh Ny. Ani Yudhoyono adalah
Yayasan Sulam Indonesia, yang diketuai Ny. Triesna Wacik, isteri Menteri
Kebudayaan & Pariwisata, Jero Wacik. Di sini ada juga potensi konflik
kepentingan antara keluarga Jero Wacik dengan yayasan itu, dan antara
keluarga Wacik dengan keluarga Cikeas. Soalnya, salah satu perusahaan
milik Menbudpar yang juga Ketua Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas,
PT Puri Ayu yang berkantor di Bali dan Jakarta, bergerak di bidang disain
tekstil. Selain itu, kita juga masih ingat bahwa Jero Wacik adalah Ketua
Dewan Pembina Yayasan Puri Cikeas.
FOTO PASANGAN JERO & TRIESNA WACIK
Para pengusaha yang bergerak di bidang produksi dan pemasaran
mutu manikam, batik, dan sulaman, dapat ikut menikmati promosi yang
dibayar dari uang rakyat, dengan berlindung di bawah ketiga payung
yayasan yang berafiliasi ke Ny. Ani Yudhoyono ini. Namun yang paling
menimbulkan tanda tanya bagi tokoh‐tokoh masyarakat adalah kedekatan
Artalyta Suryani (“Ayin”) dengan Ani Yudhoyono, berkat posisi Artalyta
sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara. Soalnya, diduga
berkat kedekatan antara Ayin dan Ani, salah seorang taipan besar
pengemplang dana BLBI, yakni Syamsul Nursalim, dapat lolos dari jerat
hukum, seperti di era Gus Dur maupun Megawati Soekarnoputri (lihat
Lampiran 4).
Peranan yayasan‐yayasan yang berafiliasi ke SBY dan Ny. Ani
Yudhoyono dalam memobilisasi dukungan politik dan ekonomi untuk
pemilihan kembali SBY sebagai Presiden untuk kedua dan terakhir
kalinya, membuka jalan bagi berbagai jenis pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh para pendukungnya. Soalnya, duplikasi anggota pengurus
yayasan‐yayasan itu dengan berbagai tim sukses yang tidak secara resmi
terdaftar personalia maupun sumber‐sumber pembiayaannya (lihat
Lampiran 1), melancarkan jalan bagi penyaluran sumbangan bagi
kampanye Pemilu legislatif Partai Demokrat dan Pilpres SBY‐Boediono ,
melampaui batas‐batas yang diperkenankan oleh Pasal 131 dari UU No.
10/2008, yakni Rp satu milyar rupiah untuk perorangan) dan lima milyar
rupiah untuk kelompok, perusahaan dan badan usaha non‐pemerintah.
Maklumlah, pelanggaran terhadap Pasal 131, yang diatur dalam Pasal 276,
diancam pidana penjara antara enam sampai 24 bulan, serta denda antara
satu sampai lima milyar rupiah.
Kecurigaan itu sangat beralasan, apabila keuangan yayasan‐yayasan
itu tidak di‐audit oleh auditor yang independen. Potensi konflik
kepentingan antara keuangan publik yang dikelola oleh pemerintah, dan
keuangan yayasan‐yayasan itu, barangkali paling besar pada Yayasan
Kesetiakawanan dan Kepedulian. Soalnya, tiga orang Menteri dan seorang
pejabat setingkat Menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu II merangkap
sebagai anggota Dewan Pembina yayasan itu, yakni Djoko Suyanto,
Purnomo Yusgiantoro, M.S. Hidayat dan Sutanto. Sedangkan Bendahara
yayasan itu dijabat oleh Dessy Natalegawa, adik kandung Menlu Marty
Natalegawa.
Ketiga yayasan yang dibina oleh Ny. Ani Yudhoyono, yakni Yayasan
Mutu Manikam Nusantara, Yayasan Batik Indonesia, dan Yayasan Sulam
Indonesia, juga berpotensi untuk melakukan kegiatan yang tumpang
tindih dengan Departemen‐Departemen atau lembaga‐lembaga yang
dipimpin – atau pernah dipimpin ‐‐ oleh suami‐suami para ketua yayasan‐
yayasan itu, yaitu Departemen Luar Negeri dalam hal Yayasan Mutu
Manikam Nusantara, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dalam hal Yayasan
Batik Indonesia, dan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, dalam hal
Yayasan Sulam Indonesia.
Di samping itu, ketua‐ketua yayasan yang dibina oleh Ny. Ani
Yudhoyono itu adalah anggota Solidaritas Isteri Kabinet Indonesia Bersatu
(SIKIB), yang juga dipimpin oleh isteri‐isteri Presiden dan Wakil Presiden.
Duplikasi antara kegiatan yayasan dan instansi‐instansi pemerintah,
juga sangat berpotensi terjadi pada yayasan‐yayasan yang berafiliasi
dengan SBY sendiri, misalnya dengan Departemen Agama, dalam hal
Yayasan Majelis Dzikir SBY Nurussalam dengan program pengiriman
ulama berumroh ke Arab Saudi, serta dengan berbagai Departemen dan
Pemerintah Daerah, dalam hal Yayasan Puri Cikeas dan Yayasan
Kesetiakawanan dan Kepedulian. Itu sebabnya, auditing terhadap
keuangan yayasan‐yayasan itu menjadi semakin penting.Bukan cuma
duplikasi, malah dualisme pemerintahan, dapat terjadi apabila yayasan‐
yayasan ini dibiarkan berkembang dengan bebas, seperti yang telah kita
alami di masa kediktatoran Soeharto, dengan seribu satu yayasannya (lihat
Aditjondro 2003, Ismawan 2007: 66‐89).
PELANGGARAN‐PELANGGARAN UU PEMILU OLEH CALEG‐
CALEG PARTAI DEMOKRASI :
Potensi pelanggaran UU Pemilu karena perangkapan jabatan
sejumlah pejabat Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II dengan anggota
kepengurusan yayasan‐yayasan itu, masih dibarengi dengan pelanggaran
hukum yang telah dilakukan oleh sejumlah kader Partai Demokrat.
Pemilu kali ini ditandai wabah pembelian suara yang semakin terang‐
terangan, dibandingkan dengan pemilu‐pemilu yang lalu. Padahal,
praktek ini jelas‐jelas dilarang oleh UU No. 10/2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, DPRD. Pasal 84 melarang semua pelaksana, peserta
dan petugas kampanye “menjanjikan atau memberikan uang atau materi
lainnya kepada peserta kampanye”.
Sedangkan Pasal 87 melarang pelaksana kampanye “menjanjikan
atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada
peserta kampanye secara langsung atau tidak langsung agar memilih
Partai Politik tertentu; memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, DPRD
kabupaten/kota tertentu; atau memilih calon anggota DPD tertentu”.
Sanksinya, penjara antara enam sampai 24 bulan serta denda antara Rp.
6.000.000 dan Rp. 24.000.000, menurut Pasal 270 dan 274.
Padahal praktek pembelian suara yang dilakukan oleh caleg‐caleg
Demokrat di berbagai wilayah, merupakan salah satu faktor kemenangan
Partai Demokrat yang begitu fantastis, yakni melonjak nyaris tiga kali lipat
dari 7% menjadi 20% lebih.
Ambillah sebagai contoh di Sumatera Utara. Waktu kampanye
pemilu lalu, Marlan Nainggolan, caleg PDP di Tapanuli Utara (Taput)
membagi‐bagi kerbau dan babi ke pemilih, Sihar Sitorus, anak DL Sitorus,
pengusaha pembalakan hutan, yang menjadi caleg PPRN, menyumbang
Rp 3 juta ke gereja HKBP dekat bandara Silangit. Sedangkan Fernando
Sihombing, caleg Golkar membagi sekarung pupuk kepada setiap pemilih.
Namun itu semua belum apa‐apa dibandingkan dengan
“sumbangan” Jhonny Allen Marbun, caleg Demokrat yang terlibat kasus
suap Rp 1 milyar untuk proyek Dephub (Tempo, 5 April 2009). Ia berulang
kali mengumpulkan petani di Humbang Hasundutan (Humbahas), Taput,
dan Samosir, dan membagi‐bagi puluhan ton bibit jagung kepada mereka.
Januari lalu, di Dolok Sanggul, ibukota Humbahas, ia menyerahkan 500
baju batik buat para kepala desa, 21 unit komputer untuk sekolah, dan Rp
200 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid.
Sebelumnya, 4 Januari 2009, dalam upacara di tanah lapang
Pangururan, Samosir, yang dihadiri Hadi Utomo, Ketua Umum DPP Partai
Demokrat yang ipar SBY, selain membagi‐bagi bibit jagung kepada petani,
Jhonny Allen menyerahkan Rp 300 juta untuk perbaikan gereja dan mesjid
serta 20 unit komputer untuk sekolah. Berbagai “sumbangan” itu ikut
mendorong Jhonny Allen memenangkan tiket Demokrat ke Senayan,
untuk kedua kalinya, dengan memperoleh 91.763 suara.
Pelanggaran terhadap Pasal 84 dan 87 UU No. 10/2008, tidak cuma
terjadi di Sumatera Utara, tapi juga di basis‐basis kemenangan Partai
Demokrat yang lain, yang sempat penulis amati, seperti di Kabupaten
Poso, Sulawesi Tengah, dan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Di
Poso, Amsal Hasyim, seorang caleg dari Partai Demokrat, menjanjikan
pembagian pesawat televisi dan traktor tangan buat mereka yang mau
memilih partai berwarna biru itu. Janji itu, baru direalisasikan akhir
November lalu, dan diterima dengan suka cita. Rupanya rakyat di bekas
daerah konflik itu tidak menyadari bahwa janji yang diobral kader Partai
Demokrat itu, melanggar Pasal 87 UU No. 10/2008 itu.
Walhasil, Amsal Hasyim, kontraktor yang disuruh oleh Piet
Inkiriwang, purnawirawan polisi yang Bupati merangkap ketua DPC
Partai Demokrat Kabupaten Poso, untuk mengetuai PAC Partai Demokrat
Kecamatan Pamona Utara di Tentena, berhasil menjadi anggota DPRD
Kabupaten Poso dari Partai Demokrat.
Di Jawa Tengah, terjadi juga banyak kasus pembelian suara (vote
buying) atau ‘politik uang’ (money politics), yang melibatkan caleg Partai
Demokrat maupun partai lain, namun hanya sedikit yang ditangani oleh
Panwalu dan disidangkan. Yang ditangani oleh Panwaslu misalnya adalah
laporan dari YSA Widayana, warga Karang, Plumbon, Mojolaban di
Kabupaten Sukoharjo. Ia melaporkan tindakan Bambang yang meminta
warga untuk memilih Partai Demokrat (Seputar Indonesia, 11 April 2009).
Lebih menghebohkan lagi adalah kasus pelanggaran Pemilu 2009
yang mulai disidangkan di Pengadilan Negeri Bantul, hari Jumat, 8 Mei
2009. Kedua terdakwa dalam kasus itu adalah Sri Yuli Waryati, caleg
untuk DPRD Bantul dari Dapil 2 dan Siti Shoimah, caleg DPRD DIJ dari
daerah pemilihan Kabupaten Bantul. JPU Widagdo M. Petrus menuntut
kurungan tiga hingga 12 bulan penjara dengan denda Rp 10 juta, subsider
enam bulan kurungan, hanya karena kedua terdakwa menggelar pasar
murah di Dusun Mangir Lor, Desa Sendangsari, Pajangan, Bantul, DIY
(Radar Jogja, 9 Mei 2009).
Ceritanya begini. Pada saat bazar murah digelar, Minggu, 29 Maret,
Sri Yuli Waryati membagi kupon pembelian sembako, yang hanya
diberikan kepada warga yang telah mengisi formulir dan menjadi anggota
Partai Demokrat. Hari Minggu berikut, 5 April, Sri Yuli Waryati
memperkenalkan Shoimah kepada masyarakat di Lapangan Mangir Loro,
dengan membagi‐bagi uang sebesar Rp 5 ribu seorang dan selembar kaos
oblong (idem).
Semua itu belum apa‐apa, dibandingkan dengan pembelian suara
yang dilakukan oleh putra bungsu SBY, Edhie Baskoro Yudhoyono (EBY),
alias Ibas, di kampung halaman ayahnya di Pacitan, Jawa Timur, April
lalu. Menurut laporan dua orang saksi, tim kampanye EBY membagi‐bagi
amplop berisi uang Rp 10 ribu disertai foto EBY ke calon‐calon pemilih di
Desa Clembem, Kecamatan Jambon, Kabupaten Ponorogo, 3 April lalu.
Namun setelah kasus ini terungkap di berbagai media lokal dan
media online, bukan Bawaslu dan Panwaslu yang bergerak, melainkan
Polri, sedangkan para pimpinan media yang bersangkutan mendapatkan
teguran keras dari jurubicara kepresidenan, Dino Patti Djalal. Kedua saksi
–M. Naziri dan Bambang Krisminarso – serta pimpinan situs
JakartaGlobe.com dan Okezone.com, dan wartawan Harian Bangsa diperiksa
oleh polisi, dengan tuduhan pencemaran nama baik EBY juncto
pelanggaran pasal 45 ayat 1 UU No. 11/2008 tentang Teknologi Informasi
juncto pasal 55 KUHP.
Akhirulkalam, Kapolda Jatim Irjen (Pol) Anton Bachrul Alam
membantah bahwa EBY telah melakukan money politics, malah sebaliknya
menuduh para saksi dan pekerja media melakukan pencemaran nama baik
putra presiden, yang juga berarti, penistaan terhadap presiden (Antara
News, 8 April 2009).
Walaupun semua tertuduh akhirnya dibebaskan, EBY pun
dibebaskan dari tuduhan pelanggaran Pasal 84 UU No. 10/2008, dan
berhasil mengalahkan para caleg lain, termasuk Ramadhan Pohon,
pesaingnya yang separtai, mendapatkan tiket ke Senayan. Padahal, seperti
kesaksian salah seorang pimpinan media yang diperkarakan, pembagian
amplop berisi uang dan foto EBY itu betul‐betul terjadi.
Ada lagi pelanggaran pasal dalam UU No. 10/2008, yang telah
menghasilkan banyak suara pemilih buat Partai Demokrat, malah
kemenangan yang hampir mutlak di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD).
Dalam Pemilu lalu mantan kombatan yang beralih menjadi anggota Partai
Aceh (PA) bebas “menuntun” pemilih yang tua dan butahuruf
mencontreng caleg dan logo PA dan Demokrat, terutama di bekas basis
GAM, tanpa dihalangi aparat keamanan. Makanya, di sebuah kecamatan
di Kabupaten Pidie, Demokrat mendapatkan 100% suara untuk DPR‐RI
dan PA 100% suara untuk DPRA dan DPRK. Hasilnya, perolehan suara
teratas di Aceh direbut oleh PA, disusul oleh Demokrat, Golkar, dan PKS.
Sedangkan partai lokal lain, hanya memperoleh beberapa kursi di DPRA
dan DPRK‐DPRK.
Makanya, perlu dipertanyakan, apakah “bantuan” yang diberikan
oleh para kader PA untuk menuntun para pemilih yang tua dan buta
huruf, untuk secara khusus mencontreng logo dua partai saja, satu untuk
duduk di DPR‐RI dan satunya lagi untuk duduk di DPR Aceh dan DPR
Kabupaten, tidak bertentangan dengan Pasal 156 UU No. 10/2008, ayat 1
dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Ayat (1): Pemilih tunanetra, tunadaksa, dan yang mempunyai
halangan fisik lain saat memberikan suaranya di TPS dapat dibantu
oleh orang lain atas permintaan pemilih.
Ayat 2: Orang lain yang membantu pemilih dalam memberikan
suara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib merahasiakan
pilihan pemilih.
Memang, kebanyakan pemilih yang tua dan buta huruf, belum tentu
menderita halangan fisik yang digambarkan dalam Pasal 156 ini. Namun
inti pasal ini adalah bahwa semua orang harus mendapatkan kesempatan
yang sama untuk memilih calon yang diharapkannya dapat membawakan
aspirasinya. Nah, apakah dengan menggiring secara halus satu bagian
yang cukup besar untuk memilih satu partai nasional, yang belum
dikenalnya, jiwa pasal ini terpenuhi? Atau justru dilanggar?
Melihat banyaknya pelanggaran UU Pemilu yang telah terjadi selama
Pemilu legislatif dan Pilpres lalu, mulai dari besarnya biaya kampanye
yang dikelola oleh tim‐tim siluman yang tidak terdaftar personalia
maupun anggarannya, pembelian suara lewat pembagian uang dan barang
kepada pemilih, termasuk yang dilakukan oleh Edhi Baskoro Yudhoyono,
bantuan negara asing seperti melalui IFES (International Foundation for
Electoral Systems), ornop AS yang dibantu oleh USAID, yang dilibatkan
oleh KPU dalam proses penghitungan suara, serta penggiringan suara
sebagian besar pemilih di Aceh, maka legalitas hasil Pemilu yang lalu patut
dipertanyakan.
Walaupun partai‐partai lain ikut menjalankan berbagai pelanggaran
UU Pemilu itu, namun Partai Demokrat, yang merupakan kendaraan
politik incumbent president, tidak menunjukkan teladan dalam mematuhi
UU Pemilu. Hanya saja, kenetralan KPU dan Bawaslu yang patut
dipertanyakan, serta pembelokan perhatian publik akibat peledakan bom
di dua hotel di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu, membuat
semua kecurangan dalam pelaksanaan Pemilu belum sempat disorot
secara mendalam.
KESIMPULAN
Uraian dalam buku ini mudah‐mudahan tidak hanya menjawab
rahasia di balik skandal Bank Century, melainkan lebih luas lagi, yakni
menjawab rahasia di balik kemenangan yang begitu fantastis dari Partai
Demokrat, yang naik tiga kali lipat dalam satu periode pemerintahan, dari
sekitara 7 % menjadi sekitar 20%.
Penggalangan dana yang luar biasa, serta besarnya pembelian suara
(vote buying) sesungguhnya memainkan peranan yang besar dalam
melonjaknya angka pemilih Partai Demokrat dan calon presidennya, dan
bukan hanya kehebatan kharisma SBY dan kesuksesan periode
kepresidenannya yang lalu, yang dikemas dengan hebat oleh Fox
Indonesia dalam iklan‐iklan televisinya.
Resistensi Partai Demokrat terhadap penggunaan hak angket DPR
untuk mengungkapkan skandal Bank Century, walaupun akhirnya ikut
mendukung prakarsa sebagian anggota DPR, bahkan tanpa malu‐malu
menunjukkan keinginan menjadi Ketua Panitia Khusus hak angket itu,
menjadi indikasi betapa besarnya keinginan petinggi‐petinggi partai itu
untuk menutupi hal‐hal yang mencurigakan dalam pemberian dana
talangan yang jauh melebihi yang sudah disepakati oleh parlemen.
Walaupun belakangan ini ada gerakan dari sejumlah individu Partai
Demokrat untuk menangkis tuduhan bahwa mereka menerima dana
puluhan, bahkan ratusan milyar rupiah dari Bank Century, toh masih ada
tanda tanya, ke mana larinya lima trilyun rupiah yang lenyap ke tangan
“fihak ketiga” dalam hanya kurang dari setahun (Juni 2008 – Juni 2009).
Sorotan terhadap beberapa beberapa nasabah terbesar Bank Century,
khususnya Hartati Murdaya dan Boedi Sampoerna, sangat wajar,
mengingat besarnya bantuan kedua kelompok bisnis yang mereka pimpin
bagi kampanye Partai Demokrat dan calon presidennya, yang dimulai oleh
Hartati Murdaya menjelang Pemilu 2004 dan semakin meningkat
menjelang Pemilu 2009.
Sedangkan dari kelompok Sampoerna, investigasi kami menemukan
dukungan dana sebesar Rp 90 milyar kepada kelompok media Jurnal
Nasional yang dekat dengan Partai Demokrat dan SBY sejak 2006, di saat
injeksi dana ke kelompok Jurnas mulai digantikan oleh pengusaha‐
pengusaha yang dekat dengan keluarga Cikeas, di bawah pimpinan Gatot
Mudiantoro Suwondo, yang kebetulan juga Direktur Utama BNI.
Kebutuhan akan dana kampanye yang semakin meningkat, yang
terdongkrak oleh besarnya biaya “pencitraan” SBY melalui media, serta
meluasnya jangkauan “kedermawanan” yayasan‐yayasan yang berafiliasi
ke SBY dan Ny. Ani Yudhoyono, membuat keluarga Cikeas semakin
tergantung pada sejumlah pengusaha kelas kakap yang berasal dari era
Soeharto, seperti Syamsul Nursalim, Hartati Murdaya, dan kelompok
Sampoerna, maupun yang muncul di era SBY, seperti PT Powertel dan
Batik Allure.
Kebutuhan akan dana kampanye yang begitu besar, dibarengi
dengan ambisi sebagian anggota Dinasti Sarwo Edhie Wibowo untuk
memperkaya diri mereka, menimbulkan kerentanan keluarga Cikeas
terhadap pengusaha‐pengusaha dan makelar‐makelar kasus yang
berusaha menempel ke keluarga itu, seperti Syamsul Nursalim, salah
seorang pengemplang dana BLBI, yang sudah berhasil mengelabui tiga
presiden berturut‐turut, berkat kedekatan Arthalyta Suryani, yang juga
dikenal sebagai “Ayin”, dengan Ani Yudhoyono, dalam kedudukannya
sebagai Bendahara Yayasan Mutu Manikam Nusantara yang diketuai oleh
isteri mantan Menlu Hasan Wirayuda.
Berbicara lebih lanjut tentang yayasan‐yayasan yang dibina oleh SBY
dan Ny. Ani Yudhoyono, kita bisa lihat bahwa kepengurusan yayasan‐
yayasan itu bukan orang‐orang yang punya latar belakang dalam
kedermawanan (filantropi), melainkan terdiri dari sejumlah menteri,
mantan menteri, purnawirawan perwira tinggi yang kebanyakan se‐
angkatan dengan SBY, sejumlah pengusaha, dan anggota keluarga besar
SBY‐Ani Yudhoyono yang juga sudah terjun ke bidang usaha, yakni
Hartanto Edhie Wibowo dan Edhie Baskoro Yudhoyono.
Hartanto, adik bungsu Ny. Ani Yudhoyono, telah terjun ke bisnis
serat optik di PT Powertel, bersama adik Menko Perekonomian M. Hatta
Rajasa, dan pada awalnya difasilitasi proyek‐proyeknya oleh Hatta Rajasa,
selagi yang bersangkutan masih menjabat sebagai Menteri Perhubungan.
Sedangkan Edhie Baskoro Yudhoyono, anak bungsu SBY dan Ny. Ani
Yudhoyono, baru mulai terjun dalam bisnis kue kering, dibantu oleh
seorang pengusaha swasta yang sudah berlangganan di bidang itu.
Dengan demikian, mantan jenderal yang mulai 20 Oktober lalu
mengendalikan kendali republik ini, perlu bekerja keras untuk
menciptakan pemerintahan bersih di negeri kita. Guna mengakhiri tradisi
politik buruk yang dirintis mendiang Jenderal Soeharto, SBY perlu
bersikap lebih tegas terhadap keluarga besarnya sendiri, agar tidak ada
anak, ipar, kerabat atau sahabat yang mengambil jalan pintas
mengembangkan bisnis mereka dengan mendekati bankir‐bankir
pemerintah serta birokrat‐birokrat papan atas, untuk mendapatkan order‐
order kelas kakap.
Tambahan lagi, SBY juga perlu mendorong kerabat dan sahabatnya
untuk menolak pemberian kemudahan dalam penyediaan jasa jalan,
listrik, dan bahan bakar bersubsidi, buat pengembangan pabrik yang baru
berdiri kemarin sore.
Sikap tegas terhadap keluarga dan sahabat merupakan dasar moral
untuk mengambil sikap tegas terhadap semua pejabat yang melakukan
komersialisasi jabatan, sebagaimana teladan Presiden Korea Selatan, Kim
Young San, yang menjebloskan kedua pendahulunya – Chun Doo‐Hwan
dan Roh Tae‐Woo – ke penjara, karena korupsi dan pembantaian aktivis
pro‐demokrasi. Walaupun kemudian kedua jenderal itu diberinya grasi
dari vonis hukuman mati dan hukuman penjara 22,5 tahun, Presiden
Korsel itu juga menyerahkan anaknya, Kim Hyon Chul, untuk diadili,
karena sang anak menerima sogokan dari maskapai Hanbo Steel, konon
untuk menggalang dana bagi kampanye ayahnya (Alkostar 2008: 176‐80;
Washington Post, 25 Januari 2007; New York Times, 18 Mei 1997).
Selanjutnya, untuk mengakhiri tradisi yang dirintis oleh Soeharto,
sebaiknya yayasan‐yayasan yang menggunakan nama SBY maupun nama
kediaman pribadinya, berhenti memanfaatkan figur‐figur pemerintah
dalam struktur organisasinya.
Rakyat yang cerdas juga tidak akan menuntut Kepala Negara
memberi makan ribuan orang miskin di Istana Negara atau kediaman
pribadinya, sebab Presiden bukanlah Raja yang kaya raya, dan memberi
makan fakir miskin bukan tugas Presiden dan keluarganya, melainkan
merupakan tugas sejumlah lembaga resmi, sesuai dengan ketentuan Pasal
34 Undang‐Undang Dasar 1945.
Yayasan‐yayasan yang ada kaitan dengan SBY, Ny. Ani Yudhoyono,
serta kerabat dan sahabatnya, sebaiknya diaudit oleh auditor publik yang
independen, dan hasilnya dilaporkan ke parlemen, serta terbuka bagi
media dan internet. Bukan diaudit oleh auditor langganan para bankir
yang juga duduk dalam pengurus yayasan‐yayasan itu.
Tujuan semua langkah itu supaya yayasan‐yayasan sosial yang
dekat dengan oknum‐oknum penguasa jangan lagi menjadi pembuka jalan
bagi korporasi‐korporasi raksasa untuk mendapat perhatian khusus dari
pemerintah, seperti tradisi Orde Baru (lihat Radjab 1999: 47‐8; Aditjondro
2003; Aditjondro 2006; Ismawan 2007; Zen & Kristianto 2007).
Dibarengi pembenahan ke dalam lingkaran kerabat dan sahabat SBY
ini, pemerintahan mendatang, didukung oleh parlemen dan lembaga
peradilan, selayaknya menjalankan transparansi dalam hal melaporkan
kekayaan dan jaringan bisnis mereka kepada rakyat Indonesia. Tujuannya
supaya rakyat dapat mengontrol pejabat yang mereka pilih dan
percayakan nasib bangsa ini lima tahun ke depan.
Jelasnya, transparansi kekayaan pejabat bertujuan supaya semua
keputusan ekonomi dan politik yang diambil, betul‐betul demi
kemaslahatan rakyat banyak, terutama mereka yang paling dipinggirkan.
Bukan demi ekspansi perusahaan milik kerabat dan sahabat, dengan dalih,
menciptakan lapangan kerja.
REFERENSI :
Aditjondro, George Junus (2003). Dari Soeharto ke Habibie: Guru Kencing
Berdiri, Murid Kencing Berlari: Kedua Puncak Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme
Rezim Orde Baru. Jakarta: MIK (Masyarakat Indonesia untuk Kemanusiaan)
& Pijar Indonesia.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐2006). Korupsi Kepresidenan: Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga:
Istana, Tangsi, dan Partai Penguasa. Yogyakarta: LKiS.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐(2007). ‘Dialektika antara Agency dan Struktur dalam
Penelaahan Korupsi di Indonesia: Membangun Gerakan Anti Korupsi yang
Lebih Merakyat.” Renai, No. 2, Salatiga: PERCIK, hal. 8‐23.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2009). “Menyambut Era SBY Kedua Yang (Mudah‐mudahan)
Lebih Bersih dari Era SBY Pertama,” Scientiae Polites, Vol. 28, hal. 1‐10.
Alkostar, Artidjo (2008). Korupsi Politik di Negara Modern. Yogyakarta: FH
UII Press.
Angkasa Pura II (2007). Laporan Tahunan 2007/ 2007 Annual Report: Together
We Build A Better Future. Jakarta: PT Angkasa Pura II.
Ardi, Yosef & Rahmon Amri (penyunting) (2008). JSX Watch 2008‐2009.
Jakarta: Pustaka Bisnis Indonesia.
Bank Bukopin (2002). Laporan Tahunan 2002. Jakarta: Bank Bukopin.
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐ (2006). Bank Bukopin Tbk Company Report : December 2006 As
of 28 December 2006. Jakarta: Bank Bukopin.
Ismawan, Indra (2007). Harta dan Yayasan Soeharto: Kontroversi tentang
Kekayaan dan Dugaan Korupsi Soeharto. Jakarta: PT Buku Kita.
Masayok (2008), Husein Al Habsy Minta KPK Selidiki Majelis Dzikir SBY,
posted on the internet on August 25.
McBeth, John (2007). “All the President’s Men.” The Straits Times News. 2
Agustus.
Nikmah, Siti Khoirun & Valentina Sri Wijiyati (2008). My Dear Train, My
Poor Train: Railway Efficiency Project (Proyek Efisiensi Perkeretapian). Working
Paper No. 1. Jakarta: INFID (International NGO Forum on Indonesian
Development).
PDBI (1997). Conglomeration Indonesia. Vol. 3. Jakarta: Pusat Data Business
Indonesia (PDBI).
Radjab, Suryadi A. (1999). Praktik Culas Bisnis Gaya Orde Baru. Jakarta:
Grasindo.
Rusly, Haris (2009). “Ini Boedi, Itu Century.” Terawang, No. 1, November,
hal. 46‐48.
Zen, Patra M. & Agustinus Edy Kristianto (2007). Menyusup Dalam Gelap:
Wajah Hitam Kejayaan Salim Group. Jakarta: Yayasan LBH Indonesia.



 

Copyright © 2009 - 2010 Website Design by Percetakan Vica

Supported By : Vica Group ( Warnet TATA dan Pangsit Mie Apollo Cabang Tunjungan plaza.com )